Matahari Buatan Korsel Akan Dibuat Lebih Panas Biar Makin Mirip Aslinya

Korea Institute of Fusion Energy memasang diverter atau pengalih baru di tokamak KSTAR. Pemasangan diverter ini memungkinkan teknologi Matahari buatan tersebut mempertahankan suhu ion tinggi melebihi 100 juta derajat Celcius lebih lama.
KSTAR selesai pada tahun 2007 dan menghasilkan plasma pertamanya pada tahun 2008. Ukurannya sekitar sepertiga dari ukuran ITER, reaktor eksperimental terbesar yang sedang dibangun sejak 2008 di Prancis.
Kedua reaktor, KSTAR dan ITER memiliki wujud yang sama, yakni perangkat berbentuk menyerupai donat raksasa yang meniru reaksi fusi nuklir pada Matahari dengan plasma, atau gas bermuatan listrik yang dibawa ke suhu dan tekanan super tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
KSTAR menggunakan diverter yang terletak di bagian bawah tokamak dan mengelola limbah gas buang dan kotoran dari reaktor. Diverter adalah komponen yang menghadap plasma, artinya komponen ini berada di dalam tokamak dan menanggung beban panas permukaan bagian dalam.
Saat ini, KSTAR mampu melakukan operasi plasma selama sekitar 30 detik. Para ilmuwan berharap diverter yang baru memungkinkan operasi plasma bisa bertahan 300 detik pada akhir tahun 2026.
KSTAR awalnya memiliki carbon diverter (pengalih karbon), namun pada 2018 para ilmuwan mulai mengerjakan tungsten diverter untuk tokamak. Tungsten memiliki titik leleh yang lebih tinggi dibandingkan karbon dan meningkatkan batas fluks panas reaktor dua kali lipat, menurut Korea's National Research Council of Science and Technology. Prototipe diverter baru selesai pada tahun 2021, dan pemasangannya selesai tahun lalu.
"Di KSTAR, kami telah menerapkan diverter dengan bahan tungsten yang juga merupakan pilihan buatan ITER," kata presiden KFE Suk Jae Yoo dalam rilisnya, seperti dikutip dari Gizmodo, Kamis (4/1/2024).
"Kami akan berusaha memberikan kontribusi upaya terbaik kami dalam memperoleh data yang diperlukan untuk ITER melalui eksperimen KSTAR," tambahnya.
Untuk diketahui, penelitian mengenai fusi nuklir mungkin mengalami kemajuan yang lambat namun signifikan. Pada tahun 2022, para ilmuwan di Lawrence Livermore National Laboratory mengelola perolehan energi bersih dalam reaksi fusi untuk pertama kalinya.
Kita masih sangat jauh dari tujuan menciptakan sumber energi nol karbon yang dapat diandalkan, dan pencapaian ini disertai dengan beberapa kendala. Namun, hal ini menunjukkan bahwa bidang ini masih berjalan lamban.
Plasma pertama ITER diperkirakan akan diproduksi pada tahun 2025, dan fusi pertama dijadwalkan pada tahun 2035. Namun jangka waktu pembuatan reaktor telah merosot sementara biayanya membengkak, dari sekitar 5 miliar euro pada tahun 2006 menjadi lebih dari 20 miliar euro.
Namun, ini adalah masa sulit bagi reaktor tokamak. Bulan lalu, reaktor JT-60SA enam lantai di Jepang diresmikan. Peneliti yang berafiliasi dengan proyek tersebut memperkirakan dibutuhkan waktu dua tahun bagi reaktor untuk mengembangkan plasma yang diperlukan untuk eksperimen. Menurut International Atomic Energy Agency, ada lebih dari 50 tokamak yang beroperasi di seluruh dunia saat ini.
Eksperimen plasma dengan tungsten diverter baru KSTAR akan berlanjut hingga Februari, menurut National Research Council of Science and Technology, seiring para ilmuwan tokamak memastikan lingkungan stabil untuk eksperimen dan plasma bersuhu 100 juta derajat dapat direproduksi di dalamnya.
Simak Video "7 Negara yang Bikin Matahari Buatan"
[Gambas:Video 20detik]
(rns/fay)