• Home
  • Berita
  • Parasetamol: Sejarah Penemuan oleh Ilmuwan dan Penggunaannya

Parasetamol: Sejarah Penemuan oleh Ilmuwan dan Penggunaannya

Redaksi
Oct 19, 2022
Parasetamol: Sejarah Penemuan oleh Ilmuwan dan Penggunaannya

Kementerian Kesehatan meminta masyarakat untuk sementara berhenti mengonsumsi obat parasetamol sirup, di tengah kekhawatiran laporan 192 kasus gagal ginjal akut misterius. Ini dilakukan sebagai bentuk kehati-hatian sambil terus menyelidiki penyebab gagal ginjal akut.

Dikutip dari Drugs.com, Rabu (19/10/2022) paracetamol atau asetaminofen adalah obat analgesik dan antipiretik yang populer dan digunakan untuk meredakan sakit kepala dan nyeri ringan, serta demam.

Obat ini sebagian besar digunakan untuk analgesik dan flu. Berbeda dengan obat analgesik lain seperti aspirin dan ibuprofen, parasetamol tidak memiliki sifat antiradang. Karenanya, parasetamol tidak tergolong ke dalam jenis obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS).

Sebelum penemuan asetaminofen, orang-orang memanfaatkan kulit tumbuhan sinkona sebagai agen antipiretik dan untuk menghasilkan obat antimalaria, kina.

Karena populasi pohon sinkona makin berkurang pada 1880-an, sumber alternatifnya pun mulai dicari. Terdapat dua agen antipiretik yang dibuat pada 1880-an yaitu asetanilida (tahun 1886) dan fenasetin (tahun 1887).

Di masa ini, parasetamol telah disintesis oleh Harmon Northrop Morse melalui pengurangan p-nitrofenol bersama timah dalam asam asetat gletser.

Meski proses ini telah dijumpai di tahun 1873, parasetamol belum digunakan dalam bidang pengobatan. Baru dua dekade setelahnya, parasetamol mulai dipakai untuk pengobatan.

Pada 1893, parasetamol ditemukan di dalam air kencing seseorang yang mengkonsumsi fenasetin. Kemudian di tahun 1899, parasetamol dijumpai sebagai metabolit asetanilida. Namun penemuan ini tidak dipedulikan pada saat itu.

Lembaga Studi Analgesik dan Obat-obatan Sedatif AS pada 1946 telah memberi bantuan kepada Departemen Kesehatan New York untuk mengkaji masalah yang berkaitan dengan agen analgesik.

Dua ilmuwan di bidang ini, Bernard Brodie dan Julius Axelrod ditugaskan untuk mengkaji mengapa agen non-aspirin dikaitkan dengan adanya methemoglobinemia, sejenis kondisi terkait darah tidak berbahaya.

Dalam tulisan mereka yang dipublikasikan pada 1948, Brodie dan Axelrod mengaitkan penggunaan asetanilida dengan methemoglobinemia dan mendapati adanya pengaruh analgesik asetanilida disebabkan oleh metabolit parasetamol aktif. Mereka membela penggunaan parasetamol karena memandang bahan kimia ini tidak menghasilkan racun asetanilida.

Parasetamol telah disetujui sebagai penurun demam untuk segala usia. WHO hanya merekomendasikan penggunaan parasetamol sebagai penurun panas untuk anak-anak jika suhunya melebihi 38,5 C. Namun efektivitas parasetamol sendiri untuk demam anak masih dipertanyakan, jika dibandingkan dengan efektivitas ibuprofen.

Obat ini juga digunakan untuk meredakan nyeri. Parasetamol mempunyai aktivitas sebagai analgesik, tetapi aktivitas antiinflamasinya sangat lemah. Parasetamol lebih dapat ditoleransi oleh pasien yang mempunyai riwayat gangguan pencernaan, seperti pengeluaran asam lambung berlebih dan pendarahan lambung, dibandingkan dengan aspirin.

back to top