Pabrik iPhone Didemo, Saham Apple Amblas
Nilai saham Apple ambles 2,6% pada Senin (28/11) setelah muncul kabar pasokan iPhone model Pro merosot 6 juta unit.
Merosotnya pasokan iPhone varian Pro tersebut terjadi akibat masalah yang terjadi di pabrik Foxconn di China, yaitu aksi demonstrasi para buruh pabriknya untuk memprotes tertundanya pembayaran insentif.
DIlansir Bloomberg, yang mengutip seorang sumber yang tak disebutkan namanya, Apple dan Foxconn baru bisa menambal kekurangan produksi tersebut pada 2023, dan hal inilah yang tampaknya menjadi penyebab merosotnya saham Apple tersebut.
Apple menolak berkomentar terhadap laporan ini.
Diberitakan sebelumnya, pasokan jajaran iPhone 14, termasuk iPhone 14 Pro, di dunia bakal terancam akibat demo besar yang berujung ricuh di pabrik Foxconn di Zhengzhou.
Pasalnya pabrik tersebut merupakan pabrik iPhone terbesar di dunia, bahkan Zhengzhou pun sampai disebut 'kota iPhone' karena besarnya pabrik tersebut. Ada lebih dari 200 ribu karyawan yang bekerja di pabrik tersebut, dan memproduksi sekitar 70% total iPhone di dunia.
Demo tersebut memang sekarang sudah berakhir, namun kemudian dampaknya adalah lebih dari 20 ribu karyawan meninggalkan pabrik tersebut setelah mengambil uang kompensasi.
Masalah di pabrik iPhone ini berawal dari aturan lockdown ketat yang diberlakukan pemerintah China. Untuk mengakali aturan tersebut, para buruh pabrik Foxconn diwajibkan tinggal di komplek pabrik.
Namun banyak karyawan yang mengeluh tidak betah karena stok makanan yang berkurang dan karantina yang terlalu ketat. Akibatnya, pada akhir bulan kemarin banyak karyawan yang kabur dari area pabrik dan memaksa Foxconn untuk merekrut karyawan baru.
Masalah Foxconn tidak berhenti sampai di situ karena karyawan baru mereka malah bentrok dengan polisi. Karyawan yang bentrok mengaku kecewa dengan kompensasi yang diberikan, dan mengeluh karena harus berbagi asrama dengan kolega yang positif COVID-19.
Foxconn kemudian minta maaf karena telah terjadi kesalahan teknis saat proses rekrutmen. Perusahaan yang bermarkas di Taiwan itu kemudian menawarkan 10.000 yuan (Rp 21 jutaan) bagi karyawan yang rusuh agar mengundurkan diri dan meninggalkan pabrik.