• Home
  • Berita
  • Otak Hibrida Bikin Tikus Bisa Berpikir Seperti Manusia

Otak Hibrida Bikin Tikus Bisa Berpikir Seperti Manusia

Redaksi
Oct 17, 2022
Otak Hibrida Bikin Tikus Bisa Berpikir Seperti Manusia

Ilmuwan menunjukkan cara baru untuk mempelajari kondisi penyakit yang berkaitan dengan otak seperti gangguan spektrum autisme, ADHD, dan skizofrenia.

Pendekatan yang dilakukan ilmuwan di Stanford University ini melibatkan transplantasi sekelompok sel otak manusia ke otak tikus yang baru lahir. Hibrida otak ini memungkinkan tikus "berpikir" seperti manusia.

Cluster, yang dikenal sebagai organoid otak, kemudian terus berkembang dengan cara meniru otak manusia dan memungkinkan para ilmuwan untuk melihat apa yang salah dalam berbagai gangguan neuropsikiatri.

"Ini jelas sebuah langkah maju," kata Paola Arlotta, peneliti organoid otak terkemuka di Harvard Univesity yang tidak terlibat dalam penelitian ini.

"Tujuan akhir dari pekerjaan ini adalah untuk mulai memahami ciri-ciri penyakit kompleks seperti skizofrenia, gangguan spektrum autisme, hingga gangguan bipolar," sambungnya seperti dikutip dari NPR.

"Namun kemajuan tersebut kemungkinan akan membuat beberapa orang tidak nyaman," kata ahli bioetika Insoo Hyun, direktur ilmu kehidupan di Museum of Science di Boston dan afiliasi dari Harvard Medical School Center for Bioethics.

"Ada kecenderungan orang berasumsi bahwa ketika Anda mentransfer biomaterial dari satu spesies ke spesies lain, Anda mentransfer esensi hewan itu ke spesies lain," kata Hyun.

Ia menambahkan, bahkan organoid otak yang paling canggih pun masih merupakan versi yang sangat sederhana dari sebuah otak manusia yang sangat rumit.

Keberhasilan transplantasi organoid otak manusia ke dalam hewan hidup tampaknya menghilangkan hambatan utama untuk menggunakannya sebagai model penyakit manusia. Ini juga merupakan puncak dari penelitian selama tujuh tahun yang diawasi Dr. Sergiu Pasca, seorang profesor psikiatri dan ilmu perilaku di Stanford University.

Eksperimen menunjukkan bahwa tim Pasca telah mengembangkan model yang lebih baik untuk mempelajari gangguan otak manusia, kata Arlotta.

Kuncinya tampaknya memberikan organoid yang ditransplantasikan dengan informasi sensorik bahwa mereka tidak tumbuh di cawan. Otak bayi membutuhkan stimulasi semacam ini untuk berkembang secara normal.

"Itu adalah hal-hal yang kita dapatkan setelah kita lahir, terutama ketika kita mulai merasakan berada di dunia dan mendengar suara, melihat cahaya, dan lainnya," ujarnya.

Namun Arlotta menyebutkan, ketika organoid otak menjadi lebih seperti otak manusia yang sebenarnya, para ilmuwan harus mempertimbangkan implikasinya terhadap etis dan sosial dari penelitian ini.

"Kita harus bisa menontonnya, mempertimbangkannya, mendiskusikannya dan menghentikannya jika kita berpikir suatu hari kita berada pada titik di mana kita seharusnya tidak maju. Saya pikir kita jauh dari titik itu sekarang," ujarnya.

Senada dengan Arlotta, Hyun menyebutkan bahkan organoid otak yang paling canggih tidak memiliki kemampuan yang jauh seperti otak manusia, yang memposting percakapan video yang dia lakukan dengan Pasca bertepatan dengan publikasi studi baru.

Namun banyak diskusi etis berfokus pada kemungkinan bahwa organoid dapat mencapai kesadaran dan berpikir seperti manusia. Hyun tidak sependapat dengan ini.

"Saya pikir itu kesalahan. Kita tidak tahu persis apa yang dimaksud dengan 'kesadaran seperti manusia', dan masalah yang lebih dekat serta lebih penting adalah kesejahteraan hewan yang digunakan dalam penelitian ini," sebutnya.

Dia mengatakan itu bukan masalah dalam eksperimen lab Pasca karena organoid itu tampaknya tidak membahayakan hewan atau mengubah perilaku mereka.

Jika organoid otak manusia tumbuh di otak hewan yang lebih besar dan lebih kompleks, kata Hyun, kelompok sel mungkin berkembang dengan cara yang menyebabkan hewan menderita.

"Yang saya khawatirkan adalah apa yang terjadi selanjutnya," tutupnya.

back to top