Ini Sebabnya Bencana Alam Bisa Banyak Korban Jiwa

Kepadatan penduduk dan perubahan iklim turut berperan mendorong penduduk Bumi bergerak mendekati zona yang seharusnya bahaya untuk dihuni dan tinggal di daerah rawan bencana. Contoh ini setidaknya terlihat dari kebakaran hutan di Amerika Serikat (AS). Akibatnya, ketika terjadi bencana alam, jatuhlah banyak korban.
Kebakaran hutan yang terjadi baru-baru ini di AS bagian barat menjelma menjadi musibah yang lebih merusak karena perubahan iklim. Namun tak hanya itu, nyatanya manusia juga bergerak semakin dalam ke area yang dulunya merupakan hutan utuh.
Tumpang tindih antara peradaban dan alam liar membuat lebih banyak orang berada di zona bahaya dan rentan terkena api. Kondisi ini juga lebih mudah memicu kebakaran hutan dan lahan, seperti jentikkan rokok dari jendela mobil, atau kabel listrik yang berdesak-desakan tertiup angin.
"Nyatanya, orang Amerika berbondong-bondong mendatangi zona bahaya," kata penulis studi ilmuwan lingkungan University of Vermont Mahalia Clark, dikutip dari Wired seperti dilansir, Sabtu (10/12/2022).
Dalam studi yang diterbitkan di jurnal Frontiers in Human Dynamics ini, dengan menggunakan data sensus, para peneliti menemukan bahwa orang-orang bergerak secara massal ke daerah yang semakin rentan terhadap bencana kebakaran hutan atau dilanda panas ekstrem.
"Mereka mungkin tertarik oleh lanskap gunung berhutan yang indah dan harga perumahan yang lebih rendah di suatu tempat di perbatasan antara hutan belantara dan perkotaan," kata Clark.
"Tapi mereka sama sekali tidak menyadari bahwa risiko kebakaran hutan adalah sesuatu yang harus mereka pikirkan. Tentu saja hal seperti itu tidak akan diberitahukan oleh makelar perumahan kepada mereka, dan tidak ada dalam iklan penjualan real estate," ujarnya.
Semakin banyak orang yang pindah ke daerah rawan kebakaran hutan, semakin banyak peluang bagi mereka untuk secara tidak sengaja memicu api dan membuat lingkungannya terbakar.
"Ke mana orang pindah, akan menentukan ke mana orang membangun rumah dan semua infrastruktur lain yang mengikutinya sejalan dengan pertumbuhan populasi," kata Clark.
"Kita mungkin perlu memikirkan tentang bagaimana kita dapat membuat orang-orang berpikir ulang ketika akan bergerak ke arah yang berbahaya, bahkan memutuskan mundur dari daerah yang berisiko lebih tinggi terhadap badai dan kebakaran hutan," sambungnya.
Pemodelan Clark menemukan bahwa orang memang menjauh dari risiko badai. Negara bagian selatan seperti Louisiana, Mississippi, dan Alabama adalah titik dingin migrasi. Florida, bagaimanapun, adalah titik panas, membuat lebih banyak orang di sana terkena angin topan dan kebakaran hutan.
Clark juga menemukan bahwa orang Amerika menjauh dari tempat-tempat yang rawan gelombang panas, seperti Midwest, namun berbondong-bondong ke daerah dengan suhu panas yang lebih tinggi secara konsisten, seperti Southwest. Perubahan ini bisa disebabkan oleh sejumlah faktor ekonomi dan sosial yang tumpang tindih.
"Orang-orang menjauh dari daerah dengan tingkat pengangguran tinggi. Anda menemukan daerah tersebut cenderung merupakan daerah pedesaan dengan sejarah panjang depresi ekonomi," kata Clark.
"Jadi ada orang yang pindah dari daerah di sepanjang Sungai Mississippi dan melintasi Great Plains serta sebagian Midwest dan Selatan." Akibatnya, orang Amerika umumnya bermigrasi menjauh dari risiko badai di sepanjang Pantai Teluk (kecuali Florida dan Texas), dan menuju Barat Laut yang sedang berkembang pesat secara ekonomi, di mana risiko kebakaran hutan tinggi.
Dan meskipun benar bahwa beberapa orang Amerika yang lebih kaya mungkin mencari keindahan kawasan hutan, terutama karena pandemi telah memungkinkan lebih banyak orang untuk bekerja dari jarak jauh, tekanan ekonomi mungkin juga memaksa orang lain bergerak ke sana. Meroketnya harga rumah dan biaya hidup mendorong orang ke tempat-tempat di mana harga rumah lebih murah.
"Ketika suhu meningkat, keadaan menjadi lebih kering dan lebih panas dan harga perumahan menjadi lebih tidak terjangkau, itu pasti akan mendorong orang ke daerah pedesaan ini," kata Kaitlyn Trudeau, seorang analis data di Climate Central nirlaba yang mempelajari kebakaran hutan tetapi tidak terlibat dalam studi ini.
Peningkatan jumlah orang yang tinggal di zona kebakaran hutan menimbulkan kerugian yang tak sedikit. Kobaran api tahun 2018 di California saja menyebabkan kerugian USD 16,5 miliar, dan itu belum termasuk biaya untuk memadamkan api, atau berbagai pencegahan untuk korban luka bakar yang parah.
Ada juga biaya tersembunyi seperti efek kesehatan dari asap kebakaran. Bahkan jika rumahnya tidak terbakar, penduduk masih menghirup partikulat dan serbuk jamur yang bisa membahayakan kesehatan.
"Secara keseluruhan, studi baru ini menunjukkan bahwa orang Amerika benar-benar bergerak ke arah yang salah. Sangat sulit untuk melihat ledakan populasi di daerah ini," kata Trudeau.