• Home
  • Berita
  • Booming Terlalu Cepat, Social Commerce Bikin Panik?

Booming Terlalu Cepat, Social Commerce Bikin Panik?

Redaksi
Sep 25, 2023
Booming Terlalu Cepat, Social Commerce Bikin Panik?
Jakarta -

Kisruh wacana pemisahan media sosial dan e-commerce yang ramai dibicarakan saat ini sejatinya bersumber dari satu hal: social commerce booming terlalu cepat.

Fenomena social commerce memang lumayan mengagetkan. Jika dibandingkan, lifecycle marketplace agak panjang, dua atau tiga tahun baru tenar. Nah, social commerce ini baru setahun langsung meledak. Negara seakan tidak mendapatkan apa-apa, tidak menikmati kesuksesan yang diraih oleh social commerce yang booming di Indonesia.

Selain itu, alasan lain, kemungkinan besar juga dikarenakan komunikasi yang tidak lancar antara penyedia platform dengan kementerian terkait. Sinergi yang baik antara pemerintah dan platform media sosial/e-commerce adalah kunci terciptanya solusi yang saling menguntungkan, terutama bagi para pemilik lapak jualan yang kebanyakan adalah UMKM, tulang punggung perekonomian negara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jika dilihat dari fungsi social commerce, seperti yang kita lihat di Facebook, Instagram, TikTok, tidak ada hal yang salah dan merugikan UMKM. Justru digitalisasi pemasaran yang mudah dan gampang diakses yang dihadirkan social commerce sangat berguna untuk para UMKM mempromosikan dagangannya, menjangkau lebih banyak calon pembeli potensial. Dengan kata lain, pemerintah perlu berhati-hati dalam rencana mengatur social commerce di Indonesia.

Jangan sampai peraturan kita justru menghambat pertumbuhan pasar yang seharusnya justru sebuah kesempatan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional kita. Social commerce pada esensinya memperluas akses pasar UMKM, bahkan menciptakan pangsa pasar baru.

Memang social commerce prinsipnya adalah media sosial, namun ada penjualan online. Saat ini hampir semua aplikasi juga memilikinya. Hanya saja, untuk urusan TikTok, seolah seperti superapp. Jika Meta dan semua aplikasi di bawah naungannya dibuat terpisah, sebaliknya, Tiktok disebut sebagai superapp karena solusi yang dibutuhkan UMKM untuk berjualan ada di situ semua.

Tidak heran jika pemerintah sebut hal ini berbahaya dan termasuk praktek monopoli. Namun sepertinya penyebutan monopoli juga dirasa kurang tepat karena ada aplikasi lain yang lebih super. Gojek salah satunya, yang di satu aplikasi bisa menyediakan ride sharing, jual-beli makanan, pembayaran tagihan, sampai pinjaman dan cicilan.

Fenomena yang dirasakan di social commerce sepertinya juga akan dirasakan di marketplace. Semua penjual di TikTok Shop rata-rata juga berjualan di marketplace. Hanya saja, para seller itu memiliki informasi dan analisa tersendiri untuk memanfaatkan semua platform yang ada. Mereka bisa tahu kapan jualan mereka bisa laku di Shopee, Tokopedia, TikTok atau Instagram.

Oleh karena itu, dari semua hal positif yang disebar oleh social commerce, sungguh mengherankan jika pemerintah malah membuat aturan yang saya anggap sebagai kemunduran. Apalagi social commerce sejatinya merupakan bagian dari perkembangan inovasi perdagangan digital; terlihat dari semakin maraknya platform e-commerce yang memiliki fitur media sosial.

Pertanyaannya, apakah pemerintah mendapatkan tekanan dari pengelola marketplace, pihak yang sebenarnya terkena dampak social commerce? Pasalnya, sangat tidak masuk akal jika banyak seller yang merasa terbantu berjualan di social commerce, kemudian pemerintah malah menghalangi dan menutup keran rezeki mereka.

Jika benar hal itu yang menjadi alasan sebenarnya dari kebijakan pemerintah ini, maka seharusnya pemerintah bisa mendiskusikannya lebih dalam dengan mengundang pihak terkait, tidak asal mengancam untuk memisahkan media sosial dan e-commerce ke dalam platform yang berbeda. Pemerintah dalam hal ini seharusnya bertindak sebagai wasit yang mendengarkan dari semua pihak.

Lalu terkait kekhawatiran pemerintah yang menyebut UMKM lokal akan tergerus karena barang-barang impor sejenis dijual lebih murah dibanding produk UMKM lokal. Hal ini membawa kita untuk mempertanyakan apakah antar lembaga atau institusi berkoordinasi satu sama lain.

Bila peraturan Kemendag terkait barang impor kurang efektif untuk mendukung pertumbuhan UMKM kita, apakah peraturan tersebut yang harus ditinjau ulang atau Kemenkop perlu menambah peraturan dan apakah peraturan tersebut saling tumpang tindih?

Jika memang tujuannya mencari jalan terbaik untuk menyelamatkan UMKM lokal, pemerintah bisa mengklasifikasikan kembali jenis-jenis UMKM yang jumlahnya memang cukup banyak. Dari situ bisa diketahui apa saja jenis jualan yang belum disediakan UMKM lokal, karena yang saya tahu, UMKM lokal lebih banyak ke kuliner dan fashion. Jika sudah teridentifikasi apa saja yang belum disediakan UMKM lokal, pemerintah bisa membantu menciptakannya sendiri secara lokal.

Solusi lain adalah dengan menekan harga produk impor yang dijual di tanah air sehingga produk UMKM lokal lebih murah dan terjangkau oleh para konsumen.

Jadi, pemerintah perlu memperhitungkan kembali dampak dan manfaat social commerce. Apakah social commerce membawa dampak perubahan yang akan memajukan UMKM lokal atau merugikan industri UMKM kita?

*) Penulis adalah Ketua Indonesian Digital Empowering Community (IDIEC)



Simak Video "Mendag: Social Commerce Hanya Boleh Buat Promosi, Tak Boleh Transaksi"
[Gambas:Video 20detik]
(fyk/fay)
back to top