Alasan Ilmiah Suporter Sepakbola Fanatik dan Bisa Rusuh Seperti Tragedi Kanjuruhan
Tragedi Kanjuruhan menyoroti para suporter sepakbola yang bertindak anarkis. Para suporter sepakbola memang dikenal begitu fanatik. Di satu sisi, fanatisme sepakbola sangat menarik. Namun di sisi lain, orang-orang yang tidak sportif akan mudah tersulut dan memancing kerusuhan.
Ada alasan ilmiah mengapa suporter olahraga, terutama sepakbola bisa begitu fanatik. Penelitian menunjukkan, adanya kesamaan antara identifikasi penggemar dengan tim olahraga dan bagaimana orang mengidentifikasinya dengan kebangsaan, etnis, bahkan gender mereka.
"Identifikasi tim adalah sejauh mana seorang penggemar merasakan hubungan psikologis dengan tim, dan penampilan tim dipandang sebagai relevansi diri sendiri," kata Daniel Wann, profesor psikologi di Murray State University, dikutip dari Psychological Science.
Wann yang telah mendedikasikan sebagian besar karirnya untuk penelitian tentang penonton olahraga menyebutkan, dalam menonton aksi olahraga, orang memang mengidentifikasikan diri dengan tim, dan bagi sebagian orang, identifikasi tim adalah hal penting dan kuat untuk perasaan diri mereka.
"Orang-orang mengikat hal dari idola atau tim kesayangan dalam identitas mereka sebagai penggemar tim X," kata Edward Hirt, profesor ilmu psikologi dan otak di Indiana University- Bloomington, yang juga melakukan penelitian tentang psikologi penggemar olahraga.
"Sebagian besar dari siapa mereka, di mana mereka memperoleh banyak pengaruh positif dan negatif, adalah dari apa yang dilakukan tim mereka," sambungnya.
Peneliti penggemar olahraga menekankan hal ini: bahwa acara olahraga adalah kompetisi di mana ada jaminan bahwa satu tim harus kalah, yang berarti bahwa setengah dari penggemar akan kecewa dengan hasilnya.
"Menjadi penggemar tak hanya soal kinerja kemenangan tim. Semua orang pada akhirnya akan mengalami kekalahan. Jelas itu harus disadari semua orang," kata Hirt.
Kerusuhan atau suasana gaduh yang terjadi di antara suporter sepakbola tak selalu terjadi pada setiap kelompok dan setiap pertandingan digelar, karena tidak semua suporter bikin gaduh dan rusuh.
Dalam sebuah studi baru-baru ini yang diterbitkan dalam Journal of Social Psychology, Wann dan Rick Grieve, profesor psikologi di Western Kentucky University, menyurvei 148 penggemar dari kedua tim saat mereka meninggalkan acara olahraga dan meminta mereka untuk menilai persetujuan mereka dengan pernyataan bahwa kubu mereka telah menunjukkan perilaku dan sportivitas yang baik.
Mereka kemudian diminta menilai suporter tim lawan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggemar, terutama dari tim pemenang, lebih cenderung mengatakan bahwa penggemar tim lawan menunjukkan perilaku yang lebih buruk daripada penggemar tim mereka sendiri, kasus bias dalam kelompok yang jelas.
"Sepertinya bagi saya mereka menggunakan penghinaan dari penggemar lain sebagai cara untuk meningkatkan harga diri. Tidak hanya merasa tim saya lebih baik, tetapi menilai pendukung lawan payah," ujar Grieve.
Namun, ketika tim mereka tampil buruk, mereka mungkin juga menunjukkan persepsi yang bias terhadap orang lain, seperti wasit, pemain tim lain, atau penggemar tim lain. Ingatan mereka tentang peristiwa pertandingan mungkin juga tidak akurat.
Tragedi Kanjuruhan yang memilukan adalah pembelajaran mahal sekaligus memperlihatkan betapa antusias dan fanatiknya para penggemar sepakbola di Indonesia.
Level fanatisme suporter sepakbola yang begitu besar, seharusnya sudah disadari oleh banyak pihak yang terlibat, termasuk pihak penyelenggara dan pihak keamanan untuk mengantisipasinya.