Tiru Laut Mediterania, Muncul Ide Ubah Gurun Sahara Jadi Laut
Lebih dari 6 juta tahun yang lalu, Laut Mediterania adalah dataran garam yang tandus. Mungkinkah gurun di Bumi juga akan berubah seiring pemanasan global dan perubahan iklim?
Saat ini, Mediterania terkenal dengan suhunya yang nyaman dan garis pantainya yang indah yang menyenangkan bagi para penyuka pantai. Namun, sekitar 6 juta tahun yang lalu, petak planet ini sebagian besar hanyalah cekungan kering yang dilapisi garam.
Jika kebetulan kalian berada di wilayah tersebut saat ini, secara teoritis mungkin untuk menuju Eropa selatan langsung ke Afrika Utara akan melintasi bidang gurun asin yang besar ini.
Situasi yang tidak biasa ini muncul sekitar 6 juta tahun yang lalu ketika Laut Mediterania terputus dari Samudera Atlantik. Tidak sepenuhnya jelas bagaimana dan mengapa ini terjadi, tetapi sebagian besar penjelasan melibatkan kekuatan tektonik raksasa dan penurunan permukaan laut.
Dikutip dari IFL Science, sebelum krisis, permukaan laut telah turun sekitar 70 meter sehingga mempersulit Samudera Atlantik untuk mengalir ke Mediterania. Dihubungkan dengan ini, beberapa ahli berpendapat bahwa kekuatan tektonik sedang bermain di sekitar Selat Gibraltar, sehingga secara efektif mengangkat dasar laut dan menciptakan dinding bendungan antara Eropa Barat Daya dan Afrika barat laut.
Berabad-abad berlalu, penguapan melebihi curah hujan dan Mediterania pun mengering. Ilmuwan menyebutnya krisis salinitas Messinian.
Para ilmuwan percaya bahwa situasi tersebut diselesaikan oleh banjir Zanclean, teori banjir air yang menghubungkan kembali Laut Mediterania ke Samudra Atlantik sekitar 5,33 juta tahun yang lalu. Berkat masuknya air baru ini, Mediterania akhirnya berubah dari gurun pasir menjadi ekosistem yang indah dan berseri-seri dengan keanekaragaman hayati.
Kurang dari 6 juta tahun yang lalu, seperti inilah rupa Mediterania. Foto: Wikimedia Commons. |
Kembali ke abad ke-19, para pemikir ambisius telah memimpikan apakah mungkin untuk menciptakan peristiwa semacam ini di Sahara, yakni menciptakan 'Laut Sahara' yang akan mengubah daerah itu dari gurun tandus menjadi tanah yang subur. Pendukung teori ini berpendapat bahwa ide tersebut dapat membawa banyak keuntungan ekonomi dan kemanusiaan, belum lagi keuntungan militer.
Salah satu orang pertama yang menyusun rencana tersebut adalah insinyur Skotlandia Donald McKenzie yang mengusulkan banjir cekungan El Djouf pada tahun 1877. Dia berpendapat bahwa saluran sepanjang 644 kilometer dari Maroko ke cekungan Sahara dapat menciptakan lautan pedalaman sekitar 155.400 kilometer persegi, kira-kira seukuran Irlandia.
Proposal serupa muncul dalam beberapa dekade berikutnya dan gagasan tentang 'Laut Sahara' bahkan menjadi latar novel berjudul 'Invasion of the Sea' tahun 1905 yang ditulis oleh bapak fiksi ilmiah Jules Verne.
Gagasan itu terus memicu imajinasi sepanjang abad ke-20. Mesir terus menggoda rencana untuk membangun kanal dari Laut Mediterania yang mengarah ke Depresi Qattara untuk membuat danau buatan di tengah bukit pasir. Teorinya adalah, cara itu akan mengubah lanskap sambil menghasilkan banyak tenaga hidroelektrik dari aliran air yang stabil.
Sekarang, di era perubahan iklim, ada yang bermain-main dengan gagasan 'moonshot' tentang banjir laut lagi. Salah satu proposal tersebut mengemukakan ide banjir di Laut Mati Timur Tengah, yang ditemukan di perbatasan Yordania, Tepi Barat, dan Israel. Ini dapat dilakukan dengan menyalurkan air secara pasif dari Mediterania atau Laut Merah ke Depresi Laut Mati.
Pendukungnya berpendapat bahwa ini akan mengubah depresi Laut Mati menjadi ekosistem yang berkembang, seperti bagaimana banjir Zanclean mengubah Laut Mediterania. Pada gilirannya, itu akan mendorong pertumbuhan hutan, mikroalga, dan kehidupan tumbuhan lain yang akan membantu menangkap karbon dan memitigasi perubahan iklim.
Namun sejumlah ahli menyebut setiap proyek geoengineering pada skala ini berpotensi menjadi sangat salah. Para ilmuwan secara keseluruhan sangat skeptis tentang potensi geoengineering untuk mengatasi perubahan iklim, apalagi banyak risiko tak terduga yang mungkin ditimbulkannya.
Bahkan Y Combinator, akselerator startup AS yang menunjukkan minat pada ide menciptakan 'banjir gurun', telah mengakui bahwa cara itu berisiko, tidak terbukti, bahkan tidak mungkin berhasil.
Simak Video "Momen Siswa SD di Luwu Jalani Ujian saat Sekolah Terendam Banjir"
[Gambas:Video 20detik]
(rns/rns)