• Home
  • Berita
  • Studi Sebut Polusi Udara Lebih Berbahaya dari Rokok

Studi Sebut Polusi Udara Lebih Berbahaya dari Rokok

Redaksi
Sep 04, 2023
Studi Sebut Polusi Udara Lebih Berbahaya dari Rokok
Jakarta -

Polusi udara lebih berbahaya bagi kesehatan rata-rata orang di Bumi dibandingkan rokok atau alkohol. Namun jumlah dana yang disisihkan untuk menghadapi tantangan ini hanya sebagian kecil dari jumlah yang dialokasikan untuk memerangi penyakit menular.

Kesimpulan ini didapat dari penelitian yang dilakukan Energy Policy Institute di University of Chicago, Amerika Serikat (EPIC). Laporan tahunan Air Quality Life Index (AQLI) menunjukkan bahwa polusi udara partikulat halus yang berasal dari emisi kendaraan dan industri, kebakaran hutan, dan lainnya, masih menjadi ancaman eksternal terbesar terhadap kesehatan masyarakat dunia.

Data penelitian menyebutkan, jika seluruh dunia bisa secara permanen mengurangi polutan-polutan ini untuk memenuhi batas pedoman yang ditetapkan WHO, angka harapan hidup rata-rata orang bisa bertambah 2,3 tahun.

Seperti dikutip dari CBS News, partikulat halus dikaitkan dengan penyakit paru-paru, jantung, stroke, dan kanker. Sebagai perbandingan, penggunaan tembakau mengurangi angka harapan hidup secara global sebesar 2,2 tahun, sedangkan malnutrisi pada anak dan ibu bertanggung jawab atas penurunan angka harapan hidup sebesar 1,6 tahun.

"Dampak (polusi udara partikulat halus) terhadap harapan hidup global sebanding dengan dampak merokok, lebih dari 3 kali lipat dari penggunaan alkohol dan air yang tidak aman, lebih dari 5 kali lipat dari cedera transportasi seperti kecelakaan mobil, dan lebih dari 7 kali lipat HIV/AIDS," kata laporan itu.

Asia dan Afrika menanggung beban terbesar masalah ini, namun memiliki infrastruktur yang paling lemah terutama dalam memberikan data yang tepat waktu dan akurat kepada masyarakat. Porsi filantropis global yang diterima negara-negara di kawasan ini juga kecil. Misalnya, seluruh benua Afrika hanya menerima kurang dari USD 300 ribu atau setara Rp 4,5 miliar untuk mengatasi polusi udara.

"Ada keterputusan yang mendalam terhadap kondisi polusi udara paling buruk dan posisi kita, secara kolektif dan global, mengerahkan sumber daya untuk mengatasi masalah ini," kata Christa Hasenkopf, direktur program kualitas udara di EPIC.

Meskipun ada kemitraan pendanaan internasional yang disebut Global Fund yang mengucurkan USD4 miliar setiap tahunnya untuk HIV/AIDS, malaria dan tuberkulosis, dana yang dikucurkan untuk polusi udara tidak sepadan.

"Polusi udara memperpendek rata-rata umur di Republik Demokratik Kongo dan Kamerun dibandingkan dengan HIV/AIDS, malaria, dan ancaman kesehatan lainnya," kata laporan itu.
Secara global, Asia Selatan adalah wilayah yang paling terkena dampaknya. Bangladesh, India, Nepal, dan Pakistan, secara berurutan, merupakan empat negara paling tercemar dalam hal rata-rata partikel halus tahunan berdasarkan populasi, yang terdeteksi oleh satelit dan didefinisikan sebagai partikel dengan diameter 2,5 mikron atau kurang (PM2.5).

Konsentrasi polusi udara kemudian dimasukkan ke dalam metrik AQLI, yang menghitung dampaknya terhadap harapan hidup berdasarkan metode yang ditinjau oleh rekan sejawat peneliti. Penduduk Bangladesh, yang tingkat PM2.5 rata-ratanya adalah 74 mikrogram per meter kubik, bisa memperoleh 'tambahan' umur 6,8 tahun jika disesuaikan dengan pedoman WHO yaitu 5 mikrogram per meter kubik.

Sementara itu, ibu kota India, Delhi, adalah kota besar paling berpolusi di dunia dengan rata-rata polusi partikulat tahunan sebesar 126,5 mikrogram per meter kubik. Sementara China, telah mencapai kemajuan luar biasa dalam perang melawan polusi udara yang dimulai pada tahun 2014.

"Polusi udara China turun 42,3% antara tahun 2013 ke 2021. Jika perbaikan ini terus berlanjut, rata-rata warga China akan dapat hidup 2,2 tahun lebih lama," kata laporan itu.

Di Amerika Serikat, tindakan legislatif seperti Clean Air Act membantu mengurangi polusi sebesar 64,9% sejak tahun 1970, sehingga membantu warga Amerika memperoleh harapan hidup 1,4 tahun.

Namun meningkatnya ancaman kebakaran hutan terkait dengan suhu Bumi yang lebih panas dan kondisi yang lebih kering akibat perubahan iklim, menyebabkan lonjakan polusi dari Amerika Serikat bagian barat hingga Amerika Latin dan Asia Tenggara.

Misalnya, pada musim kebakaran hutan bersejarah di California pada tahun 2021, wilayah Plumas menerima konsentrasi rata-rata partikel halus lebih dari lima kali lipat dibandingkan pedoman WHO.

Kebakaran hutan terbesar di Kanada pada musim panas ini memicu kekhawatiran luas mengenai kualitas udara dan potensi dampaknya terhadap kesehatan. Kisah perbaikan polusi udara di Amerika Utara dalam beberapa dekade terakhir serupa dengan Eropa, namun masih terdapat perbedaan mencolok antara Eropa barat dan timur, dan Bosnia adalah negara paling berpolusi di benua itu.



Simak Video " Lihat Perbedaan Langit Jakarta dan Bali dari Udara "
[Gambas:Video 20detik]
(rns/afr)
back to top