Robot di Jepang Bisa Jadi Anggota Keluarga, Seperti Doraemon
Selama bertahun-tahun, Jepang memimpin dunia dalam hal teknologi robotik. Jepang bahkan menjadi tempat lahirnya humanoid, sejak negara ini mengembangkan robot humanoid pertama pada 1970-an.
Robotika Jepang memelopori gagasan bahwa kecerdasan buatan harus diwujudkan. Sementara negara-negara Barat lebih fokus pada algoritme secara abstrak, institusi teknologi di Jepang percaya bahwa inovasi AI harus dikembangkan berbarengan dengan tubuh fisik buatan.
Selain robot yang bisa merawat orang sakit dan berteman dengan lansia, orang Jepang telah menemukan robot yang dapat memadamkan api, membawa beban berat, dan melakukan terapi fisik pada pasien. Tak ketinggalan, ada juga robot seks. Untuk diketahui, pasar robot seks di Jepang merupakan salah satu yang paling berkembang di dunia.
Menariknya, orang Jepang merasa lebih nyaman merangkul robot sebagai bagian dari keluarga. Mengapa demikian? Faktor budaya dan agama tampaknya berperan di sini. Jepang kebanyakan menganut agama Shinto, dan tradisi serta cara hidup mereka banyak berkaitan dengan dengan kepercayaan animisme, yang menganggap roh dan kepribadian berasal dari benda mati.
Antropolog Jennifer Robertson yang mempelajari budaya Jepang dan hubungannya yang progresif dengan otomatisasi, menjelaskan bahwa Shinto mengajarkan kepercayaan animistik asli tentang hidup dan mati, dan berpendapat bahwa energi vital, dewa, kekuatan, atau esensi hadir di materi organik maupun anorganik.
"Energi itu ada dalam entitas yang terjadi secara alami maupun sengaja dibuat oleh manusia, baik itu pohon, hewan, gunung, atau robot. Kekuatan ini dapat dikerahkan," ujarnya seperti dikutip dari Freethink.
Penganut Shinto juga percaya bahwa ada esensi sejati dari benda atau makhluk hidup apa pun dan kita dapat menemukannya melalui desain sebuah benda.
Dalam ranah kepercayaan ini, mereka percaya bahwa robot pun hidup seperti manusia dan eksis sebagai bagian dari alam. Garis antara artifisial dan alami pun secara inheren menjadi cair dalam tradisi Jepang. Hal ini setidaknya terlihat dalam cerita rakyat Jepang yang sarat dengan cerita tentang benda-benda yang menjadi hidup.
Orang Jepang percaya bahwa orang Barat memandang robot dengan prasangka buruk, sebagai 'pembunuh' pekerjaan, atau mesin yang tidak manusiawi. Jika dalam budaya pop Barat yang merasuk adalah citra robot Terminator, maka di Jepang citra robot sebaliknya digambarkan sebagai penyelamat.
Setelah kehancuran Perang Dunia II, pemulihan dan pembangunan kembali negara sangat terkait dengan teknologi modern dan robotika. Di Jepang pascaperang, robot digambarkan sebagai pahlawan super yang mirip manusia, baik hati, dan ramah.
Robot penyelamat menjadi tertanam dalam budaya dan dimulai dengan prototipe pahlawan Astro Boy. Astro Boy diciptakan pada tahun 1951 ketika Jepang sedang memulihkan diri dari tragedi perang nuklir. Penciptanya adalah Osamu Tezuka, seorang dokter dan ilustrator. Tezuka berkata dia ingin menciptakan karakter yang melebihi Pinocchio. Astro Boy adalah robot yang menjadi anak laki-laki sejati.
Selanjutnya, kita semua pasti tahu dengan Doraemon karya Fujiko F Fujio, robot yang menjadi bagian dari anggota keluarga Nobita. Pola pikir bahwa robot adalah mesin yang 'manusiawi' masih berlangsung hingga kini di Jepang. Seorang profesor robotika di Jepang bahkan punya mimpi untuk memberikan robot kepada bayi pada saat kelahiran mereka.
Robot diberi tugas tumbuh dan berjalan bersama bayi tersebut sepanjang hidup mereka, bertindak sebagai pengasuh, teman, pengawal, dan sejarawan. Robot akan merekam dan mengingat semua yang dialami orang tersebut dan akan terus merawat mereka dari buaian hingga liang lahat, mereka akan menjadi sahabat seumur hidup.