• Home
  • Berita
  • Liciknya Israel, Pakai Arkeologi Demi Curi Tanah Palestina

Liciknya Israel, Pakai Arkeologi Demi Curi Tanah Palestina

Redaksi
Nov 14, 2023
Liciknya Israel, Pakai Arkeologi Demi Curi Tanah Palestina
Jakarta -

Berbagai cara dilakukan Israel untuk membenarkan tindakannya merebut tanah Palestina, termasuk memanfaatkan studi arkeologi di wilayah tersebut.

Menurut seorang cendekiawan asal Turki, penelitian arkeologi dimanfaatkan Israel sebagai sarana untuk melanjutkan pendudukannya atas Palestina, mendistorsi hasil temuan dan data untuk agenda mereka sendiri.

"Sebagian besar negara secara ideologis telah memanfaatkan arkeologi, namun yang membedakan Israel adalah kontur yang lebih tajam yang dimilikinya," kata Bilal Toprak, dosen di Universitas Duzce di barat laut Turki, dikutip dari kantor berita Anadolu, Senin (13/11/2023).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Yang pertama dan terpenting, ketika negara-negara lain berupaya melestarikan lokasi mereka, Israel mengajukan klaim kepemilikan atas tanah yang tidak dihuninya selama 2.000 tahun, penghapusan," kata Toprak.

Ia berargumen bahwa orang-orang Yahudi di Eropa memilih Palestina sebagai tanah air Yahudi karena 'aspek motivasi' yang dimilikinya.

"Mereka percaya bahwa mereka akan berkumpul di sana ketika Mesias datang," kata Toprak seraya menambahkan bahwa Zionisme, kitab suci, dan agama dengan bermacam cara dipergunakan oleh Israel untuk keuntungan mereka.

Dia merujuk pada perdana menteri pertama Israel, David Ben Gurion, yang katanya adalah seorang politisi sekuler tetapi membuat pernyataan keagamaan setelah menjabat perdana menteri.

Arkeologi sangat diperlukan bagi Ben Gurion, yang berfungsi sebagai jembatan untuk memperkuat hubungan antara orang-orang Yahudi Israel di zaman modern dengan orang-orang Yahudi kuno. Gurion berupaya memperkuat ikatan antara bangsa dan 'tanah air'.

Alat penjajahan

Toprak menggarisbawahi pentingnya nama tempat dalam upaya kolonisasi, dan mencatat bahwa Israel telah menggunakan nama Ibrani dan Alkitab untuk banyak wilayah yang diperintah oleh umat Islam selama sekitar 1.000 tahun.

"Hanya bangunan yang berkaitan dengan sejarah Yahudi-Kristen yang menjadi fokus. Nama-nama Ibrani diberikan untuk bangunan yang berada di wilayah Negev dan Arava," sebut Toprak.

"Dulu dianggap sebagai 'daftar kosong', wilayah Palestina telah diubah menjadi tanah Yahudi pada tahun 1950an, dan hampir tidak ada desa Palestina yang tersisa," paparnya.

Menurut Toprak, benteng kuno Masada di puncak gunung di tenggara Israel adalah salah satu contoh bagaimana pemerintahan yang berpusat Tel Aviv itu dengan licik menggunakan arkeologi sebagai alat pendudukan dan penjajahan.

Ia menambahkan, pada tahun 1960an, Komandan Israel Yigael Yadin mengingatkan orang-orang Yahudi yang melakukan perlawanan terhadap Romawi di benteng Masada. Dia berbicara tentang bagaimana ratusan orang melawan dan memilih untuk bunuh diri daripada menyerah kepada tentara Romawi, sehingga membuat sejarah.

"Slogan 'Masada tidak akan jatuh lagi' masih digunakan oleh tentara di Israel untuk melawan orang-orang Arab. Yadin melakukan penggalian di sini untuk membuktikan legenda tersebut, namun hanya 25 kuburan yang berhasil ditemukan. Tidak ada kasus bunuh diri yang ditemukan di salah satu kuburan tersebut," jelasnya.

Menghapus budaya dan etnis Palestina

Toprak mengatakan Israel juga berupaya menghilangkan tatanan budaya Palestina di wilayah yang dikuasainya.

"Hutan ditanami di tempat yang dulunya adalah desa-desa Palestina di Yerusalem Barat," kata Toprak sambil menunjuk pada Hutan Para Martir di pinggiran kota, yang ditanam pada tahun 1951 oleh Dana Nasional Yahudi.

Upaya untuk melegitimasi pendudukan dengan data arkeologi terus berlanjut sejak masa Inggris menguasai Palestina. Didirikan di Inggris pada tahun 1865, Dana Eksplorasi Palestina mengirim Thomas Lawrence, yang juga dikenal sebagai Lawrence of Arabia, untuk memetakan wilayah tersebut.

"Presiden Dana Eksplorasi Palestina, Uskup York William Thomson mengatakan bahwa jika seseorang benar-benar ingin memahami Alkitab, mereka harus terlebih dahulu memahami negeri tempat Alkitab pertama kali ditulis," urai Toprak.

Menurut Toprak, selanjutnya fondasi Zionisme diletakkan di sana berkat 'jasa' teolog dan arkeolog Amerika William Albright pada tahun 1920-an.

"Albright mengatakan bahwa masyarakat pemukim mampu bertahan berkat pendudukan, pengusiran, dan pembersihan etnis. Ini adalah peluang besar bagi penjajah Zionis," ujarnya.

"Albright, yang menekankan keunggulan sejarah dan pengalaman Yahudi-Kristen, menarik hubungan antara 'Tanah Suci' dan mitos kembalinya orang-orang Yahudi ke Palestina. Ia juga membuat klaim 'tanah pilihan untuk bangsa pilihan', Albright mendasarkan klaimnya pada evaluasi, bukan berdasarkan data arkeologi aktual tetapi berdasarkan Alkitab," kata Toprak panjang lebar.

Menekankan bahwa arkeologi adalah salah satu alat terpenting untuk menafsirkan, memahami, dan mengkonstruksi masa lalu, Toprak berpendapat bahwa bahkan nama-nama museum di Israel menunjukkan bahwa mereka secara efektif menggunakan arkeologi dengan nama-nama seperti Museum Israel, Museum Orang Yahudi, dan Alkitab.

"Periodisasi seperti 'era Israel', 'era Ibrani' dibuat. Melalui ini, mereka mengklaim sebagai peradaban besar di masa lalu dan berupaya menegaskan kepemilikan mereka atas tanah yang mereka tempati saat ini," tutupnya.



Simak Video "Hamas Minta Pemimpin KTT Arab-Islam Desak AS Hentikan Agresi"
[Gambas:Video 20detik]
(rns/fay)
back to top