Industri Telco Berdarah-darah, Operator Minta Tolong ke Kominfo
Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) curhat di hadapan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) saat ini tengah berdarah-darah. Mereka pun minta tolong ke Kominfo terkait masa depan industri telekomunikasi Indonesia.
Wakil Ketua ATSI Merza Fachys menuturkan industri telekomunikasi berubah pesat dalam satu dekade terakhir, dari semula layanan telekomunikasi melayani telepon dan SMS, kini mayoritas untuk penggunaan internet.
"Dan, ternyata untuk menyiapkan infrastruktur internet agak beda dengan zaman dulu waktu melayani telepon dan SMS," ujar Merza di Seluler Business Forum, Jakarta, Senin (13/11/2023).
Merza menyampaikan kondisi industri telekomunikasi saat ini yang disebutnya sedang tidak baik-baik saja. Hal itu yang membuat ATSI curhat ke pemerintah.
ATSI telah melakukan kajian yang berkolaborasi dengan APJII, Apjatel, dan Askalsi kemudian menggaet konsultan terkait dengan rasionalisasi PNBP dan perizinan yang sudah sampai ke Presiden Joko Widodo. Hasilnya, dibentuk task force dan joint planning, di mana Menkominfo Budi Arie Setiadi menugaskan Dirjen SDPPI dan Dirjen PPI membahas insentif PNBP bagi industri telekomunikasi.
"Regulatory charge saat ini menurut kajian global sudah berada di area tidak sehat. Kenapa? karena sudah menyerap 12% pendapatan, sedangkan kalau mau sehat industrinya itu harus di bawah 10%. Regulatory charge tidak hanya frekuensi tapi ada beberapa hal lainnya, namun yang terbesar itu frekuensi," tutur Merza.
"Pendapatan operator saat ini tidak setinggi di masa lalu. Saat ini, pendapatan industri operator seluler hanya tumbuh 5,6%. Padahal, BHP frekuensi pertumbuhannya lebih dari 10%, sehingga tumbuhnya pendapatan ini tidak seimbang dengan regulatory charge yang kita bayar. Begitu juga pertumbuhan trafk mencapai 80,7% tidak berkontribusi signifikan terhadap peningkatan pendapatan operator," ungkapnya.
Sementara itu, di era digital, industri telco memiliki peran penting dalam mendongkrak ekonomi digital Indonesia. Indonesia memiliki potensi meraup ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara mencapai USD 130 miliar pada tahun 2025 dan menyentuh USD 360 miliar di 2030.
Dengan akan dilakukannya lelang frekuensi, ATSI berharap proses tersebut dapat berdampak pada keberlanjutan industri telekomunikasi tanah air.
"Mudah-mudahan semua spektrum, baik itu low, middle, atau high band akan dapat tersedia dan dilelang dengan cara yang sehat, yaitu tidak memberatkan para pemain infrastruktur ini dan kita semua tumbuh lebih baik lagi. Kita tahu bahwa 5G ada salah satu kesempatan," pungkasnya.
Simak Video "Perjalanan Kasus Korupsi Johnny Plate hingga Akhirnya Divonis 15 Tahun Bui"
[Gambas:Video 20detik]
(agt/fay)