• Home
  • Berita
  • Belajar dari China, Galak Berantas Polusi Udara

Belajar dari China, Galak Berantas Polusi Udara

Redaksi
Aug 15, 2023
Belajar dari China, Galak Berantas Polusi Udara
Jakarta -

Masalah polusi udara tak ada habisnya. Buruknya rata-rata kualitas udara di Indonesia terutama di Jabodetabek kembali mengemuka, hingga mendesak Presiden Joko Widodo mengadakan rapat terbatas untuk membahasnya.

Menurunkan tingkat polusi udara memang bukan perkara gampang. Beberapa negara di dunia juga berjuang melawannya. Salah satu yang bisa dicontoh mungkin China.

Meski perjuangannya masih berlanjut dan ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, China dianggap sukses mengurangi jumlah partikel udara yang merugikan sebanyak 40% dalam kurun waktu tujuh tahun, yakni sejak tahun 2013 hingga 2020.

Berdasarkan studi pengukuran satelit yang dipublikasikan oleh Energy Policy Insitute (EPIC) dari University of Chicago ini, prestasi China tersebut merupakan penurunan populasi udara tertinggi di suatu negara dalam waktu relatif singkat.

Dibandingkan dengan Amerika Serikat yang tingkat polusi udaranya kurang lebih sama misalnya, Negara Adidaya itu membutuhkan waktu tiga dekade untuk mencapai jumlah penurunan polusi yang sama sejak kebijakan menurunkan emisi industri dan kendaraan yang dikenal sebagai Clean Air Act dikeluarkan pada 1970.

Rahasia China Turunkan Tingkat Polusi Udara

Seperti dikutip dari BBC, tahun 2013 adalah tahun ketika polusi udara di negara-negara Asia mencapai level ekstrem. Pada tahun itu, China mencatat rata-rata 52,4 mikrogram (µg) per meter kubik (m3) partikel polutan PM2,5, sepuluh kali lebih banyak dari batas yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia WHO hari ini.

Partikel halus PM2,5, yang berasal dari pembakaran bahan bahan bakar fosil, sangat berbahaya bagi kesehatan karena kemampuannya yang tinggi untuk bisa menembus saluran pernapasan.

"Saat itu, Beijing mengalami 'kiamat' karena polusi ekstrem yang membuat orang sadar akan masalah tersebut," kata Christa Hasenkopf, direktur program kualitas udara di EPIC dan salah satu penulis laporan tersebut.

Karena situasi yang gawat ini, pemerintah China menyatakan perang melawan polusi udara. Pada akhir 2013, pemerintah mengimplementasikan rencana aksi nasional tentang kualitas udara, demi menurunkan polusi dalam periode empat tahun, dengan anggaran sebesar USD270 juta, atau setara Rp4 triliun.

Langkah tersebut menetapkan target khusus untuk menurunkan polusi udara sekitar 35% dalam jangka waktu lima tahun ke depan. Tidak main-main, China sangat galak dalam hal ini.

Adapun, musuh pertama dari polusi udara adalah mineral yang memungkinkan industrialisasi yang pesat di China yang dimulai pada kuartal terakhir abad ke-20, sekaligus sumber energi utama di negara itu, yakni batu bara.

Pemerintah setempat kemudian melarang pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara di hampir seluruh kawasan yang tercemar polusi udara, serta memaksa pembangkit listrik yang sudah ada untuk mengurangi emisi atau beralih ke bahan bakar gas alam.

Pada 2017, sebanyak 27 tambang batubara di provinsi Shanxi ditutup. Untuk diketahui, Shanxi adalah produsen batu bara terbesar di China. Pada tahun berikutnya, pada Januari 2018, satu-satunya pembangkit listrik batu bara yang tersisa di China akhirnya ditutup. Di sisi lain, pemerintah China membatalkan rencana untuk membangun 103 pembangkit listrik baru.

Kendati batu bara masih menjadi sumber utama listrik di China, negara itu telah menurunkan sekitar 67,4% keseluruhan produksinya pada 2013 menjadi 56,8% pada 2020, menurut data resmi dari China.

Untuk mengimbangi dekarbonisasi, pemerintah menambah pembangkit listrik dari energi terbarukan. Hingga pada tahun 2017, energi terbarukan mewakili seperempat dari total pembangkit listrik negara itu, bahkan melampaui Amerika Serikat, yang hanya memiliki porsi 18%, pada tahun yang sama.

China juga secara aktif mempromosikan energi nuklir. Antara 2016 hingga 2020, China meningkatkan kapasitas energi nuklir sebanyak dua kali lipat, menjadi 47 GW dengan 20 pembangkit baru. Pada 2035 jumlah itu ditargetkan naik hingga 180 GW, hampir dua kali lipat kapasitas energi nuklir Amerika Serikat saat ini.

Pembatasan Mobil

Langkah lain yang ditempuh pemerintah China adalah mengurangi kapasitas produksi besi dan baja, berkurang 115 juta ton dalam jangka waktu satu tahun sejak 2016 hingga 2017.

Kendaraan bermesin tentu saja menjadi sasaran rencana untuk mengurangi polusi udara ini. Di Beijing, Shanghai, Guangzhou dan kota-kota besar lainnya, jumlah mobil yang beredar dibatasi dengan kuota harian dan jumlah plat nomor baru dibatasi setiap tahun.

Kendati begitu, langkah ini tak mengurangi jumlah kendaraan yang terus bertambah, dari sebanyak 126 juta kendaraan pada 2013, menjadi 273 juta pada 2020, menurut data resmi. Namun dengan emisi lebih sedikit, pemerintah memperketat standar, dan pada 2017 menghentikan produksi 553 model kendaraan produksi lokal dan asing yang menghasilkan polusi tinggi.

Masih Banyak PR

"Kami memperkirakan China secara keseluruhan akan memperoleh dua tahun tambahan harapan hidup rata-rata jika warga terus menghirup udara yang lebih bersih dibandingkan dengan tahun 2013," kata Christa Hasenkopf, direktur program kualitas udara di EPIC.

Hasenkopf mencatat bahwa sebagian besar kota besar di negara ini telah berhasil mengurangi polusi mereka lebih dari rata-rata nasional 40% antara 2013 dan 2020. Di Shanghai, partikel polutan menurun sebesar 44%, di Guangzhou sebesar 50%, di Shenzen sebesar 49% dan di Beijing sebesar 56%. "Warga keempat kota menghirup udara yang jauh lebih bersih," tuturnya.

Terlepas dari upaya yang dilakukan selama beberapa tahun terakhir, China masih harus menempuh jalan panjang untuk membersihkan langit di kota-kotanya. Polusi di Beijing saat ini
rata-rata mencapai 37,9 µg/m3, angka yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan tingkat polusi di New York yang hanya 6,3µg/m3, merujuk data satelit terbaru.

Adapun tingkat polusi di London mencapai 9 µg/m3, sementara di Madrid sebesar 6,9 µg/m3, dan di Meksiko mencapai 20,7 µg/m3. Meski begitu, penelitian yang dilakukan University of Chicago memperkirakan bahwa penduduk di ibu kota China, Beijing, akan hidup rata-rata 4,4 tahun lebih lama dibanding 2013, berkat penurunan partikel polutan tersebut.



Simak Video "Polusi Jakarta Memprihatinkan, Paparannya Bikin Iritasi Saluran Napas"
[Gambas:Video 20detik]
(rns/rns)
back to top