• Home
  • Berita
  • Ngeri! Hal-hal yang Terjadi Ketika Bom Nuklir Meledak

Ngeri! Hal-hal yang Terjadi Ketika Bom Nuklir Meledak

Redaksi
Aug 03, 2023
Ngeri! Hal-hal yang Terjadi Ketika Bom Nuklir Meledak
Jakarta -

Film Oppenheimer karya Christopher Nolan agaknya meningkatkan minat publik untuk tahu lebih banyak tentang senjata nuklir. Apalagi film ini juga tayang di tengah konflik Rusia-Ukraina yang masih berlanjut yang meningkatkan risiko konflik nuklir.

Sebenarnya seperti apa ledakan bom nuklir bagi mereka yang berada di darat, dan apa yang akan terjadi setelahnya? Jawabannya tentu tergantung pada berapa banyak senjata yang dijatuhkan.

Untuk diketahui, Rusia dan AS memiliki 90% senjata nuklir dunia, menurut Federation of American Scientists. Rusia memiliki 1.588 senjata yang dikerahkan pada rudal antarbenua, yang memiliki jangkauan setidaknya 5.500 kilometer dan pangkalan pembom yang menampung pesawat yang mampu membawa dan menjatuhkan muatan nuklir.

Sementara itu, AS memiliki 1.644 senjata siap pakai dengan kondisi yang sama. Kedua negara juga memiliki hampir 5.000 bom aktif yang berfungsi dan hanya menunggu perintah peluncur.

Menurut James Martin Center for Nonproliferation Studies, 30% hingga 40% persenjataan AS dan Rusia terdiri dari bom yang lebih kecil, yang memiliki jangkauan kurang dari 500 kilometer di darat dan kurang dari 600 km melalui laut atau udara.

Senjata-senjata ini masih memiliki dampak yang menghancurkan di dekat zona ledakan, meski tidak sampai menciptakan kiamat nuklir yang berdampak global.

Saat bom nuklir meledak

Ada berbagai jenis dan ukuran senjata nuklir, tetapi bom modern dimulai dengan memicu reaksi fisi, yakni pemisahan inti atom berat menjadi atom yang lebih ringan, sebuah proses yang melepaskan neutron.

Neutron ini, pada gilirannya, dapat masuk ke dalam inti atom di dekatnya, membelahnya dan memicu reaksi berantai yang tidak terkendali.

Ledakan fisi yang dihasilkan sangat menghancurkan. Contoh dari bom dengan reaksi fisi nuklir adalah bom atom yang menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, dengan kekuatan antara 15 kiloton dan 20 kiloton TNT.

Namun, banyak senjata modern berpotensi menimbulkan kerusakan yang lebih buruk. Bom termonuklir atau hidrogen, menggunakan kekuatan reaksi fisi awal untuk memadukan atom hidrogen di dalam senjata.

Reaksi fusi ini memicu lebih banyak lagi neutron, yang menciptakan lebih banyak fisi, yang menciptakan lebih banyak fusi, dan seterusnya. Hasilnya adalah bola api dengan suhu yang menyamai panas pusat Matahari. Bom termonuklir sejatinya telah diuji, tetapi tidak pernah digunakan dalam pertempuran.

Sudah terbayang, berada di titik nol ledakan seperti itu berarti kematian seketika. Misalnya, senjata nuklir 10 kiloton, setara dengan ukuran bom Hiroshima dan Nagasaki, akan segera membunuh sekitar 50% orang dalam radius 3,2 km dari pusat peledakan.

Seperti dikutip dari Live Science, kematian tersebut akan disebabkan oleh kebakaran, paparan radiasi yang intens, dan cedera fatal lainnya. Beberapa dari korban akan terluka oleh tekanan ledakan, sementara sebagian besar akan terluka akibat bangunan yang runtuh atau pecahan peluru yang beterbangan. Selain itu, sebagian besar bangunan dalam radius 0,8 km dari ledakan dipastikan roboh atau rusak berat.

Situs web pemerintah AS Ready.gov menyarankan bahwa siapa pun yang berada dalam radius ledakan agar pindah ke ruang bawah tanah atau pusat gedung besar dan tinggal di sana setidaknya selama 24 jam untuk menghindari ledakan serta kejatuhan radioaktif.

Dengan jalan dan rel kereta hancur, rumah sakit rata dengan tanah, dan dokter, perawat, dan responden pertama di zona ledakan mati atau terluka, hanya ada sedikit pilihan untuk membawa persediaan atau orang untuk membantu, terutama mengingat tingginya tingkat radiasi setelah ledakan. Orang yang selamat pun akan membawa debu radioaktif dan perlu didekontaminasi.

Kemungkinan besar mereka akan menderita luka bakar termal dari ledakan termal awal, menurut buku 'Nuclear Choices for the Twenty-First Century: A Citizen's Guide' (MIT Press, 2021). Buku itu menyebutkan, kematian juga bisa datang akibat badai api, tergantung pada medan zona ledakan.

Pasalnya, kebakaran yang disebabkan oleh ledakan awal dapat terakumulasi dan menciptakan angin yang dapat mengisi sendiri. Menurut Departemen Energi AS, badai api semacam itu terjadi saat peristiwa bom atom di Hiroshima, Jepang, yang meliputi 11,4 kilometer persegi wilayah.

Selanjutnya: Kejatuhan Radioaktif dan Bencana Lingkungan


Kejatuhan radioaktif

Radiasi adalah konsekuensi sekunder dari peristiwa ledakan nuklir, dan jauh lebih berbahaya. Bom fisi yang dijatuhkan di Jepang menciptakan kejatuhan lokal, menurut Nuclear Choices for the Twenty-First Century. Tetapi senjata termonuklir modern meledakkan bahan radioaktif tinggi ke stratosfer (lapisan tengah atmosfer Bumi), memungkinkan kejatuhan radioaktifnya menyebar secara global.

Tingkat kejatuhan bergantung pada apakah bom diledakkan di atas tanah dalam ledakan udara, yang memperburuk kejatuhan global tetapi meredam efek langsung di titik nol, atau di darat, yang membatasi dampak global tapi merusak area terdekat.

Risiko kejatuhan paling parah terjadi dalam 48 jam setelah ledakan. Dengan tidak adanya salju atau hujan yang akan membantu menarik jatuhan ke tanah lebih cepat, partikel yang terbang jauh mungkin memiliki radioaktivitas minimal pada saat mereka melayang ke Bumi, demikian menurut buku 'Nuclear War Survival Skills'(Oak Ridge National Laboratory, 1987).

Pada 48 jam setelah ledakan, area yang awalnya terpapar 1.000 rontgen (satu unit radiasi pengion) per jam hanya akan mengalami 10 rontgen per jam radiasi. Sekitar setengah dari orang yang mengalami dosis radiasi total sekitar 350 rontgen selama beberapa hari cenderung meninggal karena keracunan radiasi akut. Sebagai perbandingan, melakukan CT scan perut di laboratorium biasa dapat membuat orang terpapar kurang dari 1 rontgen.

Orang yang selamat dari kejatuhan radioatif pun masih berisiko tinggi terkena kanker sepanjang sisa hidup mereka. Menurut International Committee of the Red Cross (ICRC), rumah sakit khusus di Hiroshima dan Nagasaki telah merawat lebih dari 10.000 korban selamat dari peristiwa ledakan tahun 1945. Sebagian besar kematian dalam kelompok ini disebabkan oleh kanker.

Tingkat leukemia pada korban yang terpapar radiasi adalah empat hingga lima kali tingkat tipikal dalam 10 hingga 15 tahun pertama setelah ledakan, menurut ICRC.

Bencana lingkungan

Radioaktivitas dan kejatuhannya akan memiliki efek lingkungan dan kesehatan yang serius. Bergantung pada ukuran konflik nuklir, ledakan tersebut bahkan dapat mempengaruhi iklim.

"Di tempat seperti Ukraina yang menghasilkan 10% gandum dunia, kejatuhan mungkin mendarat di lahan pertanian. Jika kejatuhan radioaktif mengenai pasokan makanan, hal itu dapat menyebabkan masalah jangka panjang, seperti kanker," kata Michael May, salah satu direktur emeritus di Pusat Keamanan dan Kerjasama Internasional University of Stanford dan direktur Laboratorium Nasional Lawrence Livermore.

Abu dan jelaga yang terpapar ke atmosfer selama perang nuklir pun dapat menimbulkan efek pendinginan yang serius pada iklim jika cukup banyak bom yang dijatuhkan.

Menurut analisis tahun 2012 yang diterbitkan dalam The Bulletin of the Atomic Scientist, ledakan 100 senjata seukuran yang dijatuhkan di Hiroshima pada tahun 1945 misalnya, akan menurunkan suhu global hingga setara di bawah Zaman Es Kecil yang terjadi sekitar tahun 1300 hingga 1850.

Akibatnya, suhu dingin yang tiba-tiba dapat berdampak pada pertanian dan pasokan makanan. Zaman Es Kecil menyebabkan gagal panen dan kelaparan pada saat populasi global kurang dari sepertujuh dari sekarang.

(rns/rns)
back to top