Kepala BSSN: Ransomware Jadi Ancaman Utama Keamanan Siber RI
Kepala BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara), Letnan Jenderal (Purn) Hinsa Siburian mengatakan bahwa ancaman ransomware merupakan ancaman siber paling nyata yang dihadapi Indonesia.
Hal ini disampaikannya saat membuka Indo Security Forum, Selasa (29/08) di Ritz Carlton Ballroom, Jakarta.
Ransomware merupakan jenis virus atau malware berbahaya yang digunakan untuk mengenkripsi data pengguna pada komputer atau jaringan. Ujung-ujungnya, pengguna diperas jika mau datanya kembali dibuka.
Hinsa menyampaikan bahwa kerugian akibat ransomware secara global pada tahun 2021 mencapai 20 miliar USD dan akan meningkat lebih dari 13 kali lipat saat ini. "Apabila ransomware tidak ditangani dengan serius, ini jelas akan menjadi ancaman bagi kita," ungkapnya.
Di Indonesia sendiri, terdapat 270 juta traffic anomalies yang terdeteksi, 75,49% diantaranya berstatus berbahaya. "Menurut monitoring BSSN, dari 270 juta traffic anomalies yang terdeteksi 75,49 persen berstatus kompromis, artinya 84.000 adalah anomali ransomware," jelasnya.
Selain itu, Hansa juga menjelaskan bahwa keamanan siber harus menjadi fokus utama dari strategi keamanan nasional Indonesia. Hal ini merujuk pada besarnya nilai transaksi digital yang saat ini menjadi Rp 1.500 Triliun dan diprediksi akan meningkat menjadi Rp 2.100 Triliun pada 2025.
Kerugian Akibat Masalah Keamanan Siber dan Upaya BSSN
Pada kesempatan kali ini, Hansa juga memaparkan kerugian akibat masalah keamanan siber di Indonesia mencapai USD 5 Triliun. Menurutnya, selain keamanan aspek laut, darat dan udara, ruang siber harus mendapat perhatian penting.
Ini menjadi tantangan karena ketika domain siber berkembang, akan ada kesejahteraan namun juga ada potensi kejahatan.
"Domain siber ini jika dimanfaatkan dengan baik akan mendatangkan kesejahteraan namun akan bisa jadi ancaman kejahatan, tentu dari BSSN kita bertugas untuk mengantisipasi itu," ungkap Hinsa.
BSSN bersama pemerintah juga sudah menyusun strategi keamanan nasional dan siber yang akan menggunakan seluruh sumber daya siber untuk keamanan. Upaya ini dapat dilihat dengan munculnya Perpres No. 82 Tahun 2022.
Ke depannya, mengatasi masalah keamanan siber akan melibatkan negara, akademisi, pelaku usaha dan masyarakat. Hinsa menjelaskan bahwa keamanan siber sama seperti sistem pertahanan nasional Indonesia yang bersifat semesta.
"Keamanan siber bersifat semesta, jadi semua harus berkolaborasi untuk keamanan siber yang lebih kuat," jelas Hinsa.
Simak Video "Lemhannas: RI Satu-satunya Negara di ASEAN Tanpa UU Keamanan Siber"
[Gambas:Video 20detik]
(fyk/fyk)