Kejagung Kembali Periksa 3 Saksi Kasus Korupsi BTS 4G Bakti Kominfo
Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali memeriksa tiga orang saksi terkait kasus dugaan korupsi Base Transceiver Station (BTS) 4G Badan Aksesbilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Pemeriksaan tersebut dilakukan oleh Tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) pada Kamis (5/1/2023).
Adapun tiga saksi kasus dugaan korupsi BTS 4G Bakti Kominfo, yaitu:
"Adapun ketiga orang saksi yang telah diperiksa tersebut terkait penyidikan perkara dugaan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal tindak pidana korupsi dalam penyediaan infrastruktur BTS 4G dan infrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4, dan 5 Bakti Kominfo Tahun 2020-2022", ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana, dalam keterangannya.
Lebih lanjut, Kapuspenkum mengungkapkan pemeriksaan tiga saksi kasus dugaan korupsi BTS 4G ini untuk memperkuat bukti-bukti, serta melengkapi berkas perkara terkait.
"Dengan dugaan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal tindak pidana korupsi dalam penyediaan infrastruktur BTS 4G dan infrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4, dan 5 Bakti Kominfo Tahun 2020-2022," ucapnya menambahkan.
Diberitakan sebelumnya, Jampdisus Kejagung telah menetapkan dan menahan tiga tersangka dalam kasus dugaan korupsi BTS 4G tersebut pada Rabu (4/1/2023).
Ketiga tersangka yang dimaksud, yakni yakni AAL selaku Dirut Bakti Kominfo, GMS selaku Direktur Utama Moratelindo dan YS selaku Tenaga Ahli Human Development (Hudev) Universitas Indonesia Tahun 2020.
Ketut menuturkan tersangka AAL dan YS telah ditahan selama 20 hari di Rumah Tahan (Rutan) Salemba terhitung sejak 4 Januari 2023 sampai dengan 23 Januari 2023. Sementara, tersangka GMS ditahan selama 20 hari di rutan cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Akibat perbuatan para Tersangka, Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
