Ini Dia 3 Manfaat Teknologi Antariksa untuk Indonesia
Dalam 3rd Space Economy Leaders Meeting (Space20), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama anggota G20 membahas pemanfaatan teknologi antariksa untuk mendukung ekonomi dalam tiga area.
Disebutkan Kepala OR penerbangan antariksa, Dr Robertus Heru Triharjanto, pemanfaatan teknologi antariksa diterapkan dalam tiga hal: digital economy, blue economy, dan green economy.
Heru memberikan gambaran bahwa teknologi digital adalah sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan manusia modern. Sementara itu, masih ada masyarakat di indonesia dan belahan dunia lain yang masih belum punya akses internet.
"Kalau di dalam istilah makro ekonomi global, mereka adalah orang-orang yang tertinggal, sementara konsep ekonomi global adalah no one left behind, termasuk untuk akses informasi adalah salah satunya," ujarnya.
Untuk menunjang digital economy, maka digunakanlah satelit komunikasi. Dengan demikian, kita bisa memberikan akses ke dunia digital kepada orang-orang yang belum punya akses internet akses.
"Sehingga mereka punya akses ke informasi, e-commerce, bisa melakukan distance learning, mereka juga bisa telehealth. Itu semua hanya dimungkinkan kalau kita punya akses internet. itu yang menjadi concern Indonesia," papar Heru.
Blue economy adalah ekonomi berbasis maritim. Disebutkan Heru, Indonesia sebagai negara maritim yang besar, dengan dua pertiga wilayahnya adalah laut, sudah sepatutnya sangat memperhatikan masalah kemaritiman.
"Semua sepakat bahwa laut adalah sumber pangan, dan dinamika laut mempengaruhi cuaca. Laut adalah indikator global warming dengan kenaikan permukaan air laut. Semua merasa bahwa laut harus menjadi prioritas perhatian karena exploitasinya harus sustainable," kata Heru.
Semua negara yang mengikuti 3rd Space Economy Leaders Meeting (Space20) juga sepakat bahwa kita harus memahami parameter biofisik laut agar Bumi bisa terus dihuni. Untuk mencegah dampak pemanasan global dengan memahami laut, mencegah pencemaran dan eksplorasi yang liar, digunakan satelit sebagai alat pengawasan.
"Tadi juga dibahas bagaimana untuk supporting blue economy agar data yang merupakan inti dari teknologi pemantauan satelit bisa dishare. karena untuk masalah laut kita saling terhubung, jadi tidak hanya mengamati laut kita saja untuk mengetahui fenomena global tetapi datanya bisa di-share secara global, bagi yang tidak punya satelit supaya bisa mencari solusi sama-sama terkait perubahan iklim," jelasnya.
Berbicara tentang green economy, kata Heru, kuncinya adalah sustainability atau keberlanjutan. Masalah keberlanjutan tak hanya berlaku di Bumi, tetapi juga di luar angkasa.
"Bumi kita tidak akan sustainable kalau kita habis-habisan mengambil air tanah, membiarkan sampah. Sustainability untuk penggunaan teknologi antariksa itu juga bisa berpengaruh kalau kita menggunakan ruang angkasa dengan tidak bertanggung jawab. Jadi di luar angkasa pun ada masalah itu," Heru memberikan gambaran.
Di industri ekonomi keantariksaan, masalah keberlanjutan bisa lebih parah jika tidak ada regulasi yang mengaturnya.
"Dengan kekuatan capital, dengan memiliki akses ke antariksa sendiri, kita bisa saja menggunakanya dengan tidak bertanggung jawab sehingga ada pihak lain yang dirugikan dan tidak punya akses di luar angkasa," ujarnya.
Direktur Eksekutif INASA (Indonesian Space Agency) Prof Dr Erna Sri Adiningsih dan Ketua panitia Space20, Dr Ing Wahyudi Hasbi yang hadir di acara yang sama, menambahkan bahwa misi Indonesia dalam Space20 adalah agar kemampuan keantariksaan yang dominan di antara negara-negara G20 bisa dimanfaatkan tak hanya untuk negara-negara G20 tetapi juga negara lain di luar G20 sehingga manfaat untuk keberlanjutannya bisa diperluas untuk misi kemanusiaan.
"Saya kira ini sejalan dengan misi keantariksaan bahwa ruang angkasa dimanfaatkan untuk kepentingan kesejahteraan umat manusia tanpa melihat wilayah negaranya, sehingga terwujud pemanfaatan antariksa untuk tujuan yang damai dan pembangunan ekonomi yang didukung sektor keantariksaan," tutupnya.