Heatwave Masih Berlanjut, India Waspada Suhu Panas Lebih Mematikan

India jadi salah satu negara yang terdampak heatwave atau gelombang panas paling parah. Belum usai menghadapi gelombang panas, negara ini harus bersiap mengalami suhu panas yang diperkirakan lebih mematikan.
Peringatan ini disampaikan badan meteorologi India, karena negara di kawasan Asia Selatan itu mencatat panas yang tidak biasa pada bulan April berbarengan dengan negara-negara lain di kawasan itu.
Sebagian besar Asia, dari India hingga China Selatan hingga Thailand, selama berminggu-minggu diselimuti gelombang panas hebat yang terjadi secara tidak biasa di awal tahun ini.
Meskipun April biasanya merupakan salah satu bulan dengan suhu lebih panas, di tahun 2023, sejumlah negara termasuk Laos, Thailand, dan Myanmar mengalami rekor suhu tertinggi antara 42 derajat Celcius hingga lebih dari 45 derajat Celcius.
Kembali ke India, suhu di distrik Prayagraj India dan negara bagian Odisha timur telah melebihi 44 derajat Celcius pada pertengahan April. Sebanyak 13 orang meninggal dan lebih dari 50 lainnya dibawa ke rumah sakit akibat heat stroke atau serangan panas di negara bagian Maharashtra barat.
"Kita semua harus bersiap. Pastikan bahwa emisi karbon tidak berkurang dalam dekade mendatang sehingga intensitas gelombang panas akan semakin meningkat," kata KJ Ramesh, direktur jenderal meteorologi di Departemen Meteorologi India, dikutip dari Arab News.
Gelombang panas biasa terjadi antara bulan Maret hingga Juli di negara itu. Namun musim panas menjadi lebih intens, lebih sering, dan lebih lama dalam beberapa tahun terakhir.
"Gelombang panas ini telah terjadi selama empat atau lima tahun terakhir karena pemanasan global dan ini adalah gelombang panas yang tidak biasa," ujarnya.
India dan Pakistan mengalami gelombang panas yang lebih parah pada tahun 2022, mencatat suhu tertinggi pada Maret sejak pencatatan dimulai lebih dari 120 tahun yang lalu. Namun panas terik pada bulan April tahun ini tampaknya telah mempengaruhi wilayah yang jauh lebih luas.
Departemen Meteorologi India memperkirakan suhu di atas rata-rata dan gelombang panas hingga akhir Mei. Beberapa negara bagian di India telah memulai upaya mitigasi, antara lain menutup sekolah pada pukul 13.00, mengoperasikan kantor pemerintah antara pukul 07.00 hingga 13.00, dan mengeluarkan imbauan bagi orang tua dan anak-anak untuk tetap berada di dalam rumah antara pukul 11.00 hingga 15.00.
"Pertanian, ekonomi, dan kesehatan masyarakat India menanggung beban yang belum pernah terjadi sebelumnya karena gelombang panas yang disebabkan oleh perubahan iklim," demikian tulis sebuah laporan penelitian yang diterbitkan di Perpustakaan Umum Ilmu Pengetahuan India bulan lalu.
Tahun lalu, cuaca panas merugikan negara bagian Punjab yang menanam sekitar 25% biji-bijian di India, menurut data Serikat Petani India.
"Tahun ini juga karena hujan yang tidak sesuai musim yang disebabkan oleh gelombang panas, tanaman telah rusak secara substansial," kata Jagmohan Singh Patiala, sekretaris jenderal serikat pekerja.
"Masalahnya adalah kita tidak bisa mengubah tanaman dan beralih ke tanaman jangka pendek dengan mudah. Pemerintah harus berinisiatif dan memikirkan petani," ujarnya.
S. Janakarajan, mantan profesor di Madras Institute of Development Studies, mengatakan pemanasan global bukan satu-satunya penyebab. Urbanisasi juga bertanggung jawab atas hal ini.
"Anda tidak bisa sepenuhnya menyalahkan perubahan iklim. Inilah yang kami sebut 'bersembunyi di balik perubahan iklim,'" kata Janakarajan.
Urbanisasi, kata Janakarajan, tampaknya menjadi fenomena yang tidak pernah berakhir.
"Di seluruh dunia, kota-kota mengalami urbanisasi dan berkembang semakin banyak. Semakin banyak orang datang ke kota untuk hidup. Lebih banyak orang akan tinggal di kota daripada di pedesaan. Dampaknya akan tinggi," katanya.
Lebih banyak bangunan dan infrastruktur perkotaan lainnya berarti lebih sedikit ruang hijau dan badan untuk air, tambahnya. Sementara itu, beton menyerap panas dan melepaskannya secara perlahan.
"Membangun lebih banyak gedung tinggi berarti Anda mengurangi ventilasi di kota. Ketika jumlah ventilasi terbuka berkurang dan tidak ada aliran udara bebas dari satu tempat ke tempat lain maka wilayah akan semakin panas," kata Janakarajan.
"Jumlah pulau bersuhu panas naik, jumlah bangunan naik, jalan aspal pun bertambah, semua ini menyumbang panas. Negara harus memahami bahwa pertumbuhan tidak terbatas, pertumbuhan memiliki batasnya sendiri. Masa depan yang berkelanjutan harus menjadi masa depan," tutupnya.
Simak Video "BMKG Bantah Cuaca Terik di Indonesia Karena Gelombang Panas"
[Gambas:Video 20detik]
(rns/rns)