Asosiasi TV Desak Kominfo Awasi Konten Netflix Cs

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) didesak untuk turut mengawasi konten-konten yang beredar di layanan Over The Top (OTT).
Menurut Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (ATVNI) setelah dilakukannya analog switch off (ASO), maka akan berdampak besar terhadap industri dan masyarakat.
"Sehingga persaingan bukan lagi antara TV dengan TV, radio dengan radio, tapi TV dengan platform baru. Sedangkan, platform baru, saat ini belum ada yang membatasi secara jelas," ungkap Anggota ATVNI Deddy Risnanto dalam acara Kaleidoskop Digitalisasi Penyiaran, Jumat (11/8/2023).
Platform baru yang dimaksud Deddy ini merujuk pada produk layanan OTT seperti Netflix, Twitter dan lainnya yang juga memproduksi konten, itu tidak memiliki aturan yang ketat seperti yang dialami stasiun TV saat ini.
"Sebenarnya pengawasan konten itu hanya untuk lembaga penyiaran mainstream, yakni TV dan radio? Bagaimana dengan platform media sosial?," ucapnya.
Berdasarkan data Asosiasi Perusahaan Pengiklan Indonesia bahwa lebih dari 250 juta penonton televisi itu, 200 juta di antaranya merupakan pengguna internet juga. Dan, sekitar 97% pengguna internet itu juga menonton televisi.
Hal itu yang membuat stasiun TV turut mengemas konten, tidak hanya disiarkan secara free to air, tetapi juga dapat ditayangkan di media sosial.
"Televisi mainstream akhirnya turut bermain di media sosial, bagaimana kita memproduksi konten selain di televisi juga di media sosial. Mungkin yang perlu ditekankan di sini adalah pemerintah bisa membantu industri mainstream untuk menyamakan antara aturan yang ada di industri mainstream dengan media sosial," tutur
Lebih lanjut, Deddy membantah informasi yang beredar bahwa pendapatan yang diterima stasiun TV itu besar.
"Contoh misalnya Google banter ngasih per subscribe itu Rp 4 kali jumlah subscribe kita. Pemasangan iklan di Google, YouTube juga dibatasi berbagai macam, nggak boleh ini, nggak boleh itu," ungkapnya.
Bahkan, kata Deddy, platform seperti TikTok juga turut membahas soal pemilu. Hal itulah yang dihadapi oleh para lembaga penyiaran di tanah air.
"Nah ini yang perlu jadi perhatian bagi pemerintah, bagaimana aturan main di media sosial. Semua konten-konten yang dihasilkan oleh media mainstream tentu punya hak kekayaan intelektual yang perlu dijaga," pungkas dia.
Simak Video "Hakim Cecar Saksi soal Makna Chat 'Keep Silent' di Kasus Korupsi BTS 4G"
[Gambas:Video 20detik]
(agt/agt)