• Home
  • Berita
  • Asia Jadi Target Serangan Siber Terbanyak Q3 2022

Asia Jadi Target Serangan Siber Terbanyak Q3 2022

Redaksi
Dec 02, 2022
Asia Jadi Target Serangan Siber Terbanyak Q3 2022

Asia dinobatkan menjadi kawasan dengan serangan siber terbanyak pada Q3 2022 oleh Checkpoint dalam Check Point's Threat Intelligence Report.

Dalam laporan tersebut disebutkan tiap organisasi rata-rata mendapat 1.778 serangan mingguan. Nah, di antara negara-negara Asia Tenggara, Indonesia adalah negara paling berisiko soal serangan siber selama bulan Oktober.

Indonesia juga menduduki peringkat nomor lima secara global dalam daftar tersebut. Tahun lalu, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mengumumkan bahwa setidaknya ada 1,6 miliar serangan siber di Indonesia.

Untuk itulah kemudian Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) digeber dan akhirnya kini sudah disahkan. Tujuannya untuk melawan serangan-serangan tersebut dan menurunkan angka risiko serangan siber.

"Meningkatnya tingkat serangan siber di Indonesia dan pelanggaran keamanan besar membuktikan bahwa ancaman keamanan siber semakin canggih dan sulit dideteksi," kata Deon Oswari, Country Manager, Indonesia, Check Point Software Technologies, dalam keterangan yang diterima detikINET, Jumat (2/12/2022).

"Disetujuinya RUU Perlindungan Data Pribadi di Indonesia dan pengesahan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi merupakan langkah ke arah yang tepat dan akan membantu menjaga kepercayaan masyarakat karena banyak informasi pribadi dan sensitif telah dijual oleh kelompok yang tidak bertanggung jawab," tambahnya.

Meskipun ada perubahan dalam undang-undang, Deon menyatakan bahwa tantangan keamanan siber yang dihadapi oleh perusahaan dan individu masih ada di Indonesia. Tantangan-tantangan ini termasuk kurangnya kesadaran keamanan siber, penegakan hukum untuk perlindungan data pelanggan, dan keterampilan manajemen keamanan siber itu sendiri.

Meningkatnya kecanggihan serangan siber dan perangkat lunak berbahaya yang digunakan, lemahnya kesadaran akan keamanan siber pada organisasi dan individu, kurangnya keterampilan terhadap keamanan siber yang mengerikan, mulai dari pengembang hingga engineer-nya, terbukti, menjadi alasan utama untuk dikhawatirkan.

Menurut laporan Amazon Web Services dan AlphaBeta, di tahun 2025 nanti, hampir 17,2 juta orang Indonesia akan membutuhkan pelatihan kompetensi digital untuk mengikuti kemajuan teknologi dengan tiga keterampilan digital teratas, yaitu penggunaan perangkat berbasis cloud, keamanan siber, dan dukungan teknis.

"Phishing dan pencurian identitas, ekosistem keamanan yang tidak diungkapkan, dan ketidakmampuan untuk melakukan deteksi dini ancaman akan terus menjadi masalah besar bagi banyak orang di Indonesia dan merupakan masalah yang akan terus berlanjut hingga tahun 2023," kata Deon.

Industri yang sedang berkembang seperti industri keuangan, fintech, manufaktur, pertambangan, minyak dan gas di Indonesia adalah sektor yang rentan dengan peningkatan serangan siber yang sangat besar.

Faktanya, Check Point Research menemukan bahwa industri keuangan global telah mengalami peningkatan 40% dalam serangan siber, dengan industri manufaktur mengalami peningkatan sebesar 20%. Meskipun angka-angka ini terus meningkat, tren dalam membentuk kembali sistem IT dan jaringan di Indonesia, akan membantu memerangi serangan ini.

"Mengadopsi pendekatan yang mengutamakan pencegahan ketika berhadapan dengan serangan siber adalah cara terbaik untuk memeranginya. Dengan teknologi yang tepat, sebagian besar serangan, bahkan serangan yang paling canggih sekalipun, dapat dicegah tanpa mengganggu aliran bisnis yang normal. Dengan melanjutkan pergerakan ke arah tersebut dan dukungan dari pemerintah, akan membantu Indonesia membangun pertahanan yang lebih kuat terhadap serangan siber," tutup Deon.

back to top