Algoritma Ini Nyaris Hentikan Perlombaan Senjata Nuklir

Seandainya dunia ini tidak perlombaan mengembangkan senjata nuklir, Bumi mungkin akan lebih damai. Nyatanya, ini cuma khayalan naif karena pengembangan senjata nuklir kini tersebar luas dan sangat integral dengan strategi pertahanan teritorial banyak negara.
Akan tetapi pada satu titik waktu, hal ini sangat mungkin terjadi. Dalam sejarah pengembangan nuklir, ada satu algoritma, satu metode pengodean sinyal tunggal, yang hampir mencegah terjadinya perlombaan senjata nuklir.
Menghentikan uji coba nuklir
AS di tahun 1945 menjatuhkan dua bom atom di Jepang, mengakhiri Perang Dunia II dan menyebabkan kehancuran yang mencengangkan yang masih terlihat dari generasi ke generasi bahkan hingga sekarang.
Mata dunia terbuka terhadap kekuatan bom-bom ini. Berkekuatan lebih tinggi daripada ledakan apa pun yang pernah ada sebelumnya, AS juga menunjukkan bahwa perangkat semacam itu dapat dijatuhkan di mana saja, kapan saja.
Namun, AS memahami bahwa meskipun mereka memiliki keuntungan langsung, tidak lama kemudian negara-negara lain membuat senjata serupa dan perlombaan ini bisa memusnahkan umat manusia.
Akibatnya, AS mengadakan pembicaraan dengan Soviet dan negara-negar lainnya dengan tujuan akhir untuk menghentikan pengembangan senjata nuklir.
Namun, dapat ditebak bahwa negara-negara tersebut tidak cukup percaya satu sama lain untuk sepakat tidak berlomba mengembangkan senjata pemusnah massal. AS terus menguji bom nuklir dan negara lain pun demikian, sehingga menciptakan perlombaan senjata yang lebih berbahaya dengan daya ledak lebih dahsyat dari sebelumnya.
AS pernah gagal menguji bom atom di Bikini Atoll. Aktivitas ini menghujani zat radioaktif di pulau-pulau terdekat dan kapal penangkap ikan serta menyebabkan keracunan radiasi akut. Peristiwa ini kemudian memaksa negara-negara yang mengembangkan nuklir sekali lagi berunding. Kali ini, mereka setuju untuk tidak pernah menguji senjata nuklir lagi.
Untuk melakukannya, setiap negara harus memiliki teknologi untuk mengidentifikasi bahwa pengujian senjata nuklir sedang berlangsung, yakni semacam hidrofon yang dapat mendeteksinya jika pengujian dilakukan di bawah laut, dan sisa atom dapat diidentifikasi di langit jika pengujian berbasis darat. Bagaimana dengan uji coba di bawah tanah? Ini menimbulkan tantangan terbesar.
Discrete Fourier Transform
Kemudian, masuklah salah satu algoritma terpenting dalam sejarah teknologi. Sinyal telepon, WiFi, atau aktivitas seismologi suatu negara yang melakukan uji coba nuklir bawah tanah, menghasilkan sinyal yang kompleks. Ada banyak gelombang sinus dengan frekuensi berbeda yang semuanya berkontribusi untuk membentuk hasil akhir, dan ini dapat diterjemahkan jika kita dapat mengisolasi setiap frekuensi.
Anggap saja seperti sebuah lagu, ada suara drum, gitar, dan vokal yang semuanya bergabung. Tetapi di dalam lagu itu terdapat instrumen dan nada individual yang dapat diisolasi.
Discrete Fourier Transform (DFT) adalah yang pertama dapat melakukan ini pada sinyal kompleks dengan mengambil jumlah sampel (N) dalam sinyal dan mengalikannya dengan gelombang frekuensi sinus dan kosinus yang sesuai dengan sinyal tersebut.
Pada dasarnya, semakin banyak sampel dalam sinyal, semakin baik hasil resolusinya. Namun, untuk bisa mendapatkan resolusi terbaik, semakin banyak perhitungan yang harus kita buat.
Misalnya, jika suatu sinyal memiliki 8 sampel, maka setiap sampel harus dikalikan dengan 8, sehingga menghasilkan 64 perhitungan.
Ini disebut algoritma O(N 2 ) (N 2 karena N bilangan harus dikalikan N kali). O(N 2 ) algoritma tidak terlalu efisien, karena saat kita menskalakan sinyal hingga ribuan atau jutaan sampel, jumlah kalkulasi yang diperlukan menjadi sangat banyak dan bahkan komputer saat ini masih kesulitan menghitungnya, apalagi komputer zaman 1900-an.
Bagaimana ini berhubungan dengan uji coba nuklir? Nah, uji coba nuklir bawah tanah dapat diidentifikasi dengan seismometer, tetapi entah bagaimana harus diisolasi dari kebisingan latar belakang gempa Bumi kecil alami, yang jumlahnya banyak setiap hari.
DFT dapat melakukan ini, tetapi komputer pada saat itu membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memecahkan kode setiap sinyal, sehingga tidak berfungsi dengan baik untuk akuntabilitas.
James Cooley dan John Tukey, penasihat ilmiah dan matematika Presiden AS pada saat itu, mengembangkan jenis DFT baru, yang mereka sebut Fast Fourier Transform (FFT).
Seperti yang bisa ditebak dari namanya, FFT secara signifikan lebih cepat daripada DFT dengan mengidentifikasi bahwa gelombang dari sampel tumpang tindih pada titik tertentu, jadi ini bisa digunakan untuk menghilangkan perhitungan yang tidak berguna.
Alih-alih menjadi O(N 2 ), FFT menjadi Nlog 2 (N), membuatnya lebih cepat secara eksponensial. Jika ada 64 kalkulasi yang harus dilakukan dengan menggunakan DFT, sekarang hanya ada 24, dan ini menjadi lebih baik lagi karena sampelnya menjadi jauh lebih besar. Jika ada ribuan sampel, kalkulasi yang dibutuhkan lebih sedikit dibandingkan dengan DFT.
Lalu ke mana algoritma itu kini? Tragisnya, FFT diterbitkan dalam sebuah makalah oleh Cooley dan Tukey pada tahun 1965, ketika negara-negara besar lainnya telah bergabung dengan AS dan Uni Soviet untuk menjadi kekuatan nuklir.
Sekarang sudah terlambat untuk menandatangani larangan uji coba yang komprehensif, dan uji coba nuklir terpaksa dilakukan di bawah tanah, dengan pengujian meningkat hingga tingkat yang luar biasa sekitar sekali seminggu.
Pada akhirnya, FFT diaplikasikan pada hampir setiap komunikasi dan persinyalan data yang dibuat manusia, menjadikannya salah satu algoritma paling penting yang pernah dirancang.
Padahal, algoritma ini memiliki potensi untuk menjadi jauh lebih besar. Algoritma FFT bisa menjadi penawar yang bisa menghentikan perlombaan senjata nuklir, seandainya itu terjadi beberapa tahun sebelumnya.
Simak Video "Ada Bom Atom dan Bom Nuklir, Bedanya Apa Ya?"
[Gambas:Video 20detik]
(rns/agt)